PAGUYUBAN AREMA SAMARINDA: TOKOH: Insyaallah juga akan diisi dengan informasi tokoh Gnaro Ngalam yg mempunyai sumbangsih ke kota Samarinda khusunya dan Paguyuban Arema
KENANGAN KETIKA KITA TIDAK TAHU..BAHWA SANG FENOMENTAL LINGKUNGAN INI TERNYATA ...AREMANIA desa Kemiri Kec. Kepanjen....
Kamis, 11 Agustus 2011 , 08:23:00
Paimin Raih Prestasi Tingkat Kaltim
Akan Terima Penghargaan dari Presiden
Akan Terima Penghargaan dari Presiden
PRESTASI: Wali Kota ketika menerima kunjungan Paimin (kedua dari kiri) didampingi Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Marwansyah (kanan).
SAMARINDA - Petani Samarinda kembali menorehkan prestasi di ajang Penghijauan dan Konservasi Alam (PKA) untuk ketiga kalinya sejak 2009. Saimin, petani kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara, keluar sebagai juara pertama tingkat Kaltim dalam lomba PKA Wana Lestari Tahun 2011 dalam kategori kontes pohon Gmelina.
Atas keberhasilannya, rencananya pria paruh baya ini berhak mendapatkan penghargaan Wana Lestari yang diserahkan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 16 Agustus di Hotel Grand Cempaka, akarta.
Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang saat menerima kunjungan Paimin di kediamannya, Selasa (09/08) malam mengaku bangga atas prestasi yang mengharumkan nama daerah ke tingkat nsional.
"Saya sangat terharu dan bangga mendengar kabar ini setelah melihat kondisi Pak Paimin dengan usia 59 tahun, masih bisa menorehkan pretasi," ucap Syaharie.
Prestasi yang diraih Paimin menurutnya sejalan dengan tujuan Pemkot yang berkeinginan melakukan pembinaan kawasan hutan kemasyarakatan dan melaksanakan berbagai program penghijauan melalui penanaman bibit-bibit pohon.
Untuk itu ia mengharapkan dengan keberhasilan itu setidaknya dapat memotivasi petani-petani lain untuk mengikuti jejaknya, berkarya dan berprestasi di sektor yang sama. "Melalui kegiatan ini saya harapkan kesadaran masyarakat bersama pemerintah untuk terus menjaga hutan semakin berjalan secara sinergi, yang pada gilirannya membuat hutan lestari,” tuturnya.
Di kesempatan lain, Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kota Samarinda Marwansyah mengutarakan, penghargaan yang diterima merupakan penghargaan untuk ketiga kalinya yang diterima petani Samarinda dalam ajang PKA sejak 2009.
Dia menjelaskan keberhasilan petani Kota Tepian dalam kegiatan penghijauan atau pembuatan hutan rakyat sangat mendapatkan apresiasi dari Pemkot. Pemkot terus melakukan penghijauan dan pembuatan hutan rakyat dari 2001, yang telah mencapai 4.655 Ha untuk hutan kota seluas 690 Ha.
"Kegiatan pemberian bantuan bibit secara stimulan kepada masyarakat juga telah dilakukan dengan mencapai 82.897 batang, selain mengharapkan partisipasi pihak swasta yang telah melakukan penanaman 1.000 bibit di lokasi mereka," lontar Marwan. (hms5/ss)
Atas keberhasilannya, rencananya pria paruh baya ini berhak mendapatkan penghargaan Wana Lestari yang diserahkan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 16 Agustus di Hotel Grand Cempaka, akarta.
Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang saat menerima kunjungan Paimin di kediamannya, Selasa (09/08) malam mengaku bangga atas prestasi yang mengharumkan nama daerah ke tingkat nsional.
"Saya sangat terharu dan bangga mendengar kabar ini setelah melihat kondisi Pak Paimin dengan usia 59 tahun, masih bisa menorehkan pretasi," ucap Syaharie.
Prestasi yang diraih Paimin menurutnya sejalan dengan tujuan Pemkot yang berkeinginan melakukan pembinaan kawasan hutan kemasyarakatan dan melaksanakan berbagai program penghijauan melalui penanaman bibit-bibit pohon.
Untuk itu ia mengharapkan dengan keberhasilan itu setidaknya dapat memotivasi petani-petani lain untuk mengikuti jejaknya, berkarya dan berprestasi di sektor yang sama. "Melalui kegiatan ini saya harapkan kesadaran masyarakat bersama pemerintah untuk terus menjaga hutan semakin berjalan secara sinergi, yang pada gilirannya membuat hutan lestari,” tuturnya.
Di kesempatan lain, Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kota Samarinda Marwansyah mengutarakan, penghargaan yang diterima merupakan penghargaan untuk ketiga kalinya yang diterima petani Samarinda dalam ajang PKA sejak 2009.
Dia menjelaskan keberhasilan petani Kota Tepian dalam kegiatan penghijauan atau pembuatan hutan rakyat sangat mendapatkan apresiasi dari Pemkot. Pemkot terus melakukan penghijauan dan pembuatan hutan rakyat dari 2001, yang telah mencapai 4.655 Ha untuk hutan kota seluas 690 Ha.
"Kegiatan pemberian bantuan bibit secara stimulan kepada masyarakat juga telah dilakukan dengan mencapai 82.897 batang, selain mengharapkan partisipasi pihak swasta yang telah melakukan penanaman 1.000 bibit di lokasi mereka," lontar Marwan. (hms5/ss)
Minggu, 14 Agustus 2011 , 08:09:00
Paimin hanya paham bertani. Pria tak tamat SD ini hanya mengenal cangkul dan arit. Tapi karena aktivitasnya itu, dia bisa bertatap muka dengan orang nomor satu di negeri ini; Presiden Bambang Susilo Yudhoyono. Pohon gmelina yang telah mengantarkannya menuju Istana Negara.
MUKHRANSYAH, Samarinda
RUMAH itu tak banyak penyekat. Hanya dapur dan ruang belakang untuk beristirahat. Tak banyak juga perabotan. Di ruang utama (tengah) hanya ada kursi tamu, televisi, dan mini compo. Di ruang itu ada ransel berisi beberapa stel pakaian. Di antara pakaian itu, ada baju batik yang baru dibeli seharga Rp 75 ribu di Kompleks Citra Niaga Samarinda. Di sudut ruangan lainnya juga ada sepasang sepatu dalam tas kresek hitam yang baru dibeli seharga Rp 110 ribu.
Baju batik dan sepatu hitam itu adalah modal Paimin, warga Desa Rejo Mulyo, Kelurahan Lempake, Samarinda Utara menuju Jakarta untuk menerima penghargaan Penghijauan dan Konservasi Alam Wana Lestari dari Presiden RI. Untuk menerima penghargaan itu, dia diminta panitia di Jakarta untuk membawa baju batik. Sementara sepatu baru dibeli karena sebelumnya dia tak punya sepatu. Sebagai petani, dia sering tak mengenakan alas kaki dan bila bepergian hanya dengan sendal.
“Sebelumnya saya bilang pada Dinas (Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Samarinda, Red.) saya tak mau menerima penghargaan Wana Lestari, karena saya tak punya ongkos berangkat ke Jakarta. Saya baru saja gagal panen. Sebagian padi saya dimakan burung dan tikus. Ketika bertemu Pak Jaang (Syaharie Jaang Wali Kota Samarinda, Red.) Selasa (9/8) lalu, saya diberi uang Rp 1 juta,” ujar Paimin. Uang inilah yang kemudian digunakannya membeli sepatu di Pasar Segiri dan baju batik di Kompleks Citra Niaga.
Sisa uangnya untuk ongkos perjalanan ke Jakarta dan ongkos hidup selama 5 hari di ibukota negara. Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Samarinda sudah membantu membelikan tiket pesawat pulang pergi Balikpapan-Jakarta untuk Paimin. Jadi, dia tak risau lagi menuju ibukota negara yang selama ini hanya dia lihat di televisi. “Yang tak memberi bantuan pemerintah provinsi. Padahal saya ini juga membawa nama Kaltim,” ujar petani lugu ini.
Panitia dari Kementerian Kehutanan sebenarnya juga menanggung akomodasi dan konsumsi penerima Wana Lestari selama di Jakarta, serta biaya transportasi dari tempat asal ke Jakarta. Namun, dana itu baru dibayarkan saat peserta akan pulang ke daerah masing-masing. Paimin juga akan menerima hadiah uang Rp 3 juta (dipotong pajak 10 persen) karena memenangkan kontes, selain lencana emas dan piagam.
Paimin berangkat ke Jakarta Minggu (14/8) hari ini dan pulang pada tanggal 19 Agustus. Selain penyerahan penghargaan Penghijauan dan Konservasi Alam Wana Lestari, di Jakarta Paimin juga akan mengikuti sarasehan bersama seluruh petani, kader konservasi alam, polisi kehutanan dari berbagai daerah di Indonesia. Agenda lainnya mengikuti sidang paripurna DPR RI, upacara peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI, dan kunjungan ke beberapa tempat.
Namun, bagi Paimin agenda yang paling penting adalah temu wicara dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan ramah tamah bersama Presiden SBY. Pengalaman ini seumur hidup tak akan dia lupakan. Dia bersyukur dari jutaan petani di Indonesia, dia mendapat kesempatan ke Istana Negara. Dia juga harus berterima kasih pada pohon Gmelina yang tumbuh baik, sehingga memenangkan kontes Badan Penyuluh dan Pengembangan Sumber Daya Manusia kehutanan dan bisa menginjakkan kaki di Istana Negara.
Untuk diketahui, setiap tahun Kementerian Kehutanan RI memang menggelar kontes pohon gmelina untuk seluruh petani di Indonesia. Kontes ini salahsatu upaya menggalakkan program Penghijauan dan Konservasi Alam (PKA). Pohon yang diikutkan harus memenuhi beberapa kriteria . Di antaranya umur pohon tak boleh lebih 7 tahun, pohon tumbuh lurus tinggi tanpa cabang, diameter 40 sentimeter pada ketinggian 130 sentimeter, satu pohon harus sudah mencapai 1 kubik, dan lain-lain.
Satu pohon gmelina milik Paimin memenuhi kriteria itu dan diajukan kelompok taninya, untuk dilakukan penilaian. Kala penilaian dilakukan Dinas Perkebunan, Pertanian, dan Kehutanan Samarinda, gmelina Paimin lolos. Penilaian Dinas Kehutanan Kaltim juga memenangkan gmelina Paimin. Dari provinsi, gmelina Paimin maju ke Jakarta. “Tim dari Jakarta sempat memeriksa gmelina saya,” ujarnya. Dan, satu gmelina Paimin yang menjulang lurus menantang langit, dinyatakan sebagai pemenang.
“Pohon gmelina yang bisa tegak lurus, tanpa batang, memang sulit ditemui,” ujar Ketua Kelompok Tani Cahaya Baru, Ponidi yang mendampingi Paimin. “Kebanyakan bercabang dan bengkok. Karena itu petani sejak awal tumbuh harus benar-benar melakukan perawatan, seperti pemupukan, mengatur jarak tanam, termasuk pengaturan tumpang sari,” papar Ponidi yang tahun 2010 juga menjuarai kontes gmelina di ajang yang sama.
Paimin mempunyai lahan 1,3 hektare. Sebagian untuk menanam padi dan sebagian besar untuk tanaman gmelina yang mencapai ratusan pohon. Bibit gmelina ini merupakan bantuan pemerintah pusat pada 2004. Bibit-bibit ini dibagikan kepada petani di seluruh Indonesia, termasuk petani di Kaltim. Selain berupa bibit, bantuan juga berupa pupuk dan obat-obatan pertanian. “Anggaran untuk penghijauan dan konservasi ini dialokasikan pada APBN 2002, dan dilaksanakan tahun 2004,” ujar Ponidi yang juga mendapat bantuan bibit gmelina.
Paimin menanam gmelina dengan pola tumpang sari. Di sekitar gmelina, dia juga menanam nenas, pisang, pohon mahoni, sengon, durian, pisang, rambutan, gaharu, dan sungkai. “Lahan ini saya buka (dikerjakan, Red.) sendiri sejak belasan tahun lalu,” ujar Paimin. Ratusan pohon gmelina ini sangat diperlukan untuk memenuhi pasar industri. Namun untuk bisa memanen (menebang) pohon ini paling tidak memerlukan waktu 20 tahun. “Ini tanaman buat anak cucu,” ujarnya.
PERTAMA KALI
Paimin berasal dari Desa Kemiri Kecamatan Kepanjen, Malang-Jawa Timur. Pada tahun 1972, ayah Paimin, Marto Diharjo memboyong keluarganya mengikuti program transmigrasi di Samarinda. Mereka bergabung bersama 75 Kepala Keluarga (KK) dari tiga daerah di Jatim, yaitu Jombang, Malang, Lumajang. Menumpang kapal perang milik TNI-AL, Paimin yang kala itu berusia 19 tahun merasakan seperti sedang menuju medan perang di Kalimantan.
“Kami memang seperti berperang untuk mengolah lahan Kalimantan,” ujar anak kedua dari enam bersaudara ini, tersenyum. Lelaki kelahiran 1953 yang tak tahu tanggal dan bulan kelahirannya ini mengatakan saat itu mereka lebih banyak membawa pakaian.
Untuk sampai ke lokasi yang dituju (yang kemudian diberi nama Desa Rejo Mulyo) juga tak gampang. Waktu itu Kota Tepian tak seramai sekarang, dan sangat sulit mendapatkan transportasi darat. Keluarga Paimin bersama transmigran lainnya, harus naik kapal, dari Sungai Mahakam melintasi Sungai Karang Mumus menuju hulu. Sebagian besar dari transmigran ini mendapat lahan di tepi sungai (termasuk aliran Sungai Karang Mumus). Termasuk keluarga Paimin.
Namun, belakangan lahan ini diubah menjadikan bendungan yang kemudian dinamai Benanga. Warga transmigran diminta mencari lokasi lahan yang lain dan pemerintah memberi uang pengganti. Keluarga Paimin mendapat uang pengganti Rp 7 juta. Mereka kemudian mengambil lahan yang berjarak sekitar satu kilometer dari bendungan Benanga atau sekitar 3 kilometer dari Kelurahan Lempake.
Setelah menikah dengan warga transmigran, Paimin membangun rumah sendiri. Luas bangunannya sekitar 10 x 12 meter. Tanpa banyak ruang. Hanya dapur dan ruang belakang yang menurut Paimin untuk bersantai keluarga karena banyak sirkulasi angin. Di ruang utama (tengah), setengah ruang, dibuat mezanin setinggi 2 meter untuk tempat tidur 6 anaknya (2 perempuan dan 4 laki-laki). Sekarang 5 anaknya sudah tinggal di rumah masing-masing. Tinggal satu anak laki-laki yang hidup bersama Paimin.
Selama tinggal di Desa Rejo Mulyo, Paimin hanya pernah satu kali ke Balikpapan. Itu pun ketika mengantar keluarganya yang mau ke Jawa. Kota-kota terdekat seperti Bontang atau Tenggarong sama sekali tak pernah dilihatnya. Bahkan untuk Kota Tepian pun, tak semua kawasan pernah dia datangi. “Saya juga tak pernah lagi melihat kampung halaman saya (Kepanjen, Malang, Red.). sejak transmigrasi 1972,” ujar pria yang bisa baca tulis ini.
Tak heran, keberangkatan ke Jakarta untuk menerima penghargaan Wana Lestari, adalah pengalaman yang sangat berharga baginya. Dia yang sehari-hari hanya melihat hamparan sawah dan hutan, akan melihat dan menjalani sesuatu yang sangat berbeda. Seperti melintasi langit dengan pesawat terbang, melihat “hutan” ibukota negara dengan gedung-gedung pencakar langit, tidur di kamar hotel bintang empat (Hotel Grand Cempaka di Jakarta Pusat), dan lain-lain.
Paimin akan menjalaninya tanpa pendamping dari Samarinda. Karena pemerintah pusat tak menanggung biaya pendamping, sementara Paimin tak bisa menanggung biaya pendamping. Ponidi hanya akan mengantarkannya sampai Bandara Sepinggan Balikpapan. Memang ada rencana Paimin naik pesawat terbang bersama-sama dengan petani Bontang, Rasyid Syarif yang juga menerima penghargaan Wana Lestari untuk kelompok tani.
Ponidi sempat memberitahukan beberapa hal yang akan dia lalui di Jakarta. “Kalau bawa tas ransel, nanti jangan disimpan di bagasi pesawat. Dibawa dalam pesawat aja, lalu ditaruh di bagasi dalam pesawat,” ujar Ponidi kepada Paimin. “Saat membuka pintu kamar hotel nanti juga pakai kartu. Bukan pakai kunci,” lanjut Ponidi. Dia kemudian menjelaskan cara membuka pintu kamar. “Saat mau meninggalkan kamar, kartu (kunci) jangan sampai ditinggal di dalam kamar, nanti tak bisa membuka pintu,”jelasnya.
TIGA KALI JUARA
Sementara Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Samarinda Marwansyah mengatakan, Samarinda sudah tiga kali memenangkan kontes tanaman pada program Penghijauan dan Konservasi Alam (PKA) Wana Lestari. Pada 2009, pohon sengon milik Marzuki petani Samarinda berhasil menjadi pemenang. Tahun berikutnya, pohon gmelina milik Ponidi yang menjadi pemenang. Dia mengatakan, kontes ini untuk menggalakkan penghijauan dan pembuatan hutan rakyat.
Dia mengatakan, selama ini Kota Samarinda telah melaksanakan kegiatan penghijauan, pembuatan hutan rakyat, pengkayaan hutan rakyat, pembuatan dan pengayaan hutan kota. Sejak 2001 telah terealisasi 4.665 hektare. Sedangkan khusus hutan kota mencapai 690 hektare.
“Sementara kegiatan pemberian bantuan bibit kayu-kayuan dan MPTS (multi purpose tree species, Red.) kepada masyarakat mencapai 82.897 batang. Selain itu perusahaan swasta sejak 2001 telah melakukan penanaman 1.668.284 bibit dalam lokasi usahanya,” bebernya.
Sementara Kepala Bidang Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam Dinas Kehutanan Samarinda Umar Shodiq mengatakan, memang sangat sulit mendapatkan pohon gmelina yang tegak lurus tanpa cabang. Pohon yang seperti ini katanya, sangat diperlukan untuk industri kayu olahan. Dia juga berharap keberhasilan Paimin bisa memotivasi petani lain di Samarinda.
“Kita harapkan juga bisa menggugah kesadaran masyarakat untuk ikut berperan aktif melestarikan hutan dan menjaganya,” ujar Umar. (ran)
Baju batik dan sepatu hitam itu adalah modal Paimin, warga Desa Rejo Mulyo, Kelurahan Lempake, Samarinda Utara menuju Jakarta untuk menerima penghargaan Penghijauan dan Konservasi Alam Wana Lestari dari Presiden RI. Untuk menerima penghargaan itu, dia diminta panitia di Jakarta untuk membawa baju batik. Sementara sepatu baru dibeli karena sebelumnya dia tak punya sepatu. Sebagai petani, dia sering tak mengenakan alas kaki dan bila bepergian hanya dengan sendal.
“Sebelumnya saya bilang pada Dinas (Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Samarinda, Red.) saya tak mau menerima penghargaan Wana Lestari, karena saya tak punya ongkos berangkat ke Jakarta. Saya baru saja gagal panen. Sebagian padi saya dimakan burung dan tikus. Ketika bertemu Pak Jaang (Syaharie Jaang Wali Kota Samarinda, Red.) Selasa (9/8) lalu, saya diberi uang Rp 1 juta,” ujar Paimin. Uang inilah yang kemudian digunakannya membeli sepatu di Pasar Segiri dan baju batik di Kompleks Citra Niaga.
Sisa uangnya untuk ongkos perjalanan ke Jakarta dan ongkos hidup selama 5 hari di ibukota negara. Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Samarinda sudah membantu membelikan tiket pesawat pulang pergi Balikpapan-Jakarta untuk Paimin. Jadi, dia tak risau lagi menuju ibukota negara yang selama ini hanya dia lihat di televisi. “Yang tak memberi bantuan pemerintah provinsi. Padahal saya ini juga membawa nama Kaltim,” ujar petani lugu ini.
Panitia dari Kementerian Kehutanan sebenarnya juga menanggung akomodasi dan konsumsi penerima Wana Lestari selama di Jakarta, serta biaya transportasi dari tempat asal ke Jakarta. Namun, dana itu baru dibayarkan saat peserta akan pulang ke daerah masing-masing. Paimin juga akan menerima hadiah uang Rp 3 juta (dipotong pajak 10 persen) karena memenangkan kontes, selain lencana emas dan piagam.
Paimin berangkat ke Jakarta Minggu (14/8) hari ini dan pulang pada tanggal 19 Agustus. Selain penyerahan penghargaan Penghijauan dan Konservasi Alam Wana Lestari, di Jakarta Paimin juga akan mengikuti sarasehan bersama seluruh petani, kader konservasi alam, polisi kehutanan dari berbagai daerah di Indonesia. Agenda lainnya mengikuti sidang paripurna DPR RI, upacara peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI, dan kunjungan ke beberapa tempat.
Namun, bagi Paimin agenda yang paling penting adalah temu wicara dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan ramah tamah bersama Presiden SBY. Pengalaman ini seumur hidup tak akan dia lupakan. Dia bersyukur dari jutaan petani di Indonesia, dia mendapat kesempatan ke Istana Negara. Dia juga harus berterima kasih pada pohon Gmelina yang tumbuh baik, sehingga memenangkan kontes Badan Penyuluh dan Pengembangan Sumber Daya Manusia kehutanan dan bisa menginjakkan kaki di Istana Negara.
Untuk diketahui, setiap tahun Kementerian Kehutanan RI memang menggelar kontes pohon gmelina untuk seluruh petani di Indonesia. Kontes ini salahsatu upaya menggalakkan program Penghijauan dan Konservasi Alam (PKA). Pohon yang diikutkan harus memenuhi beberapa kriteria . Di antaranya umur pohon tak boleh lebih 7 tahun, pohon tumbuh lurus tinggi tanpa cabang, diameter 40 sentimeter pada ketinggian 130 sentimeter, satu pohon harus sudah mencapai 1 kubik, dan lain-lain.
Satu pohon gmelina milik Paimin memenuhi kriteria itu dan diajukan kelompok taninya, untuk dilakukan penilaian. Kala penilaian dilakukan Dinas Perkebunan, Pertanian, dan Kehutanan Samarinda, gmelina Paimin lolos. Penilaian Dinas Kehutanan Kaltim juga memenangkan gmelina Paimin. Dari provinsi, gmelina Paimin maju ke Jakarta. “Tim dari Jakarta sempat memeriksa gmelina saya,” ujarnya. Dan, satu gmelina Paimin yang menjulang lurus menantang langit, dinyatakan sebagai pemenang.
“Pohon gmelina yang bisa tegak lurus, tanpa batang, memang sulit ditemui,” ujar Ketua Kelompok Tani Cahaya Baru, Ponidi yang mendampingi Paimin. “Kebanyakan bercabang dan bengkok. Karena itu petani sejak awal tumbuh harus benar-benar melakukan perawatan, seperti pemupukan, mengatur jarak tanam, termasuk pengaturan tumpang sari,” papar Ponidi yang tahun 2010 juga menjuarai kontes gmelina di ajang yang sama.
Paimin mempunyai lahan 1,3 hektare. Sebagian untuk menanam padi dan sebagian besar untuk tanaman gmelina yang mencapai ratusan pohon. Bibit gmelina ini merupakan bantuan pemerintah pusat pada 2004. Bibit-bibit ini dibagikan kepada petani di seluruh Indonesia, termasuk petani di Kaltim. Selain berupa bibit, bantuan juga berupa pupuk dan obat-obatan pertanian. “Anggaran untuk penghijauan dan konservasi ini dialokasikan pada APBN 2002, dan dilaksanakan tahun 2004,” ujar Ponidi yang juga mendapat bantuan bibit gmelina.
Paimin menanam gmelina dengan pola tumpang sari. Di sekitar gmelina, dia juga menanam nenas, pisang, pohon mahoni, sengon, durian, pisang, rambutan, gaharu, dan sungkai. “Lahan ini saya buka (dikerjakan, Red.) sendiri sejak belasan tahun lalu,” ujar Paimin. Ratusan pohon gmelina ini sangat diperlukan untuk memenuhi pasar industri. Namun untuk bisa memanen (menebang) pohon ini paling tidak memerlukan waktu 20 tahun. “Ini tanaman buat anak cucu,” ujarnya.
PERTAMA KALI
Paimin berasal dari Desa Kemiri Kecamatan Kepanjen, Malang-Jawa Timur. Pada tahun 1972, ayah Paimin, Marto Diharjo memboyong keluarganya mengikuti program transmigrasi di Samarinda. Mereka bergabung bersama 75 Kepala Keluarga (KK) dari tiga daerah di Jatim, yaitu Jombang, Malang, Lumajang. Menumpang kapal perang milik TNI-AL, Paimin yang kala itu berusia 19 tahun merasakan seperti sedang menuju medan perang di Kalimantan.
“Kami memang seperti berperang untuk mengolah lahan Kalimantan,” ujar anak kedua dari enam bersaudara ini, tersenyum. Lelaki kelahiran 1953 yang tak tahu tanggal dan bulan kelahirannya ini mengatakan saat itu mereka lebih banyak membawa pakaian.
Untuk sampai ke lokasi yang dituju (yang kemudian diberi nama Desa Rejo Mulyo) juga tak gampang. Waktu itu Kota Tepian tak seramai sekarang, dan sangat sulit mendapatkan transportasi darat. Keluarga Paimin bersama transmigran lainnya, harus naik kapal, dari Sungai Mahakam melintasi Sungai Karang Mumus menuju hulu. Sebagian besar dari transmigran ini mendapat lahan di tepi sungai (termasuk aliran Sungai Karang Mumus). Termasuk keluarga Paimin.
Namun, belakangan lahan ini diubah menjadikan bendungan yang kemudian dinamai Benanga. Warga transmigran diminta mencari lokasi lahan yang lain dan pemerintah memberi uang pengganti. Keluarga Paimin mendapat uang pengganti Rp 7 juta. Mereka kemudian mengambil lahan yang berjarak sekitar satu kilometer dari bendungan Benanga atau sekitar 3 kilometer dari Kelurahan Lempake.
Setelah menikah dengan warga transmigran, Paimin membangun rumah sendiri. Luas bangunannya sekitar 10 x 12 meter. Tanpa banyak ruang. Hanya dapur dan ruang belakang yang menurut Paimin untuk bersantai keluarga karena banyak sirkulasi angin. Di ruang utama (tengah), setengah ruang, dibuat mezanin setinggi 2 meter untuk tempat tidur 6 anaknya (2 perempuan dan 4 laki-laki). Sekarang 5 anaknya sudah tinggal di rumah masing-masing. Tinggal satu anak laki-laki yang hidup bersama Paimin.
Selama tinggal di Desa Rejo Mulyo, Paimin hanya pernah satu kali ke Balikpapan. Itu pun ketika mengantar keluarganya yang mau ke Jawa. Kota-kota terdekat seperti Bontang atau Tenggarong sama sekali tak pernah dilihatnya. Bahkan untuk Kota Tepian pun, tak semua kawasan pernah dia datangi. “Saya juga tak pernah lagi melihat kampung halaman saya (Kepanjen, Malang, Red.). sejak transmigrasi 1972,” ujar pria yang bisa baca tulis ini.
Tak heran, keberangkatan ke Jakarta untuk menerima penghargaan Wana Lestari, adalah pengalaman yang sangat berharga baginya. Dia yang sehari-hari hanya melihat hamparan sawah dan hutan, akan melihat dan menjalani sesuatu yang sangat berbeda. Seperti melintasi langit dengan pesawat terbang, melihat “hutan” ibukota negara dengan gedung-gedung pencakar langit, tidur di kamar hotel bintang empat (Hotel Grand Cempaka di Jakarta Pusat), dan lain-lain.
Paimin akan menjalaninya tanpa pendamping dari Samarinda. Karena pemerintah pusat tak menanggung biaya pendamping, sementara Paimin tak bisa menanggung biaya pendamping. Ponidi hanya akan mengantarkannya sampai Bandara Sepinggan Balikpapan. Memang ada rencana Paimin naik pesawat terbang bersama-sama dengan petani Bontang, Rasyid Syarif yang juga menerima penghargaan Wana Lestari untuk kelompok tani.
Ponidi sempat memberitahukan beberapa hal yang akan dia lalui di Jakarta. “Kalau bawa tas ransel, nanti jangan disimpan di bagasi pesawat. Dibawa dalam pesawat aja, lalu ditaruh di bagasi dalam pesawat,” ujar Ponidi kepada Paimin. “Saat membuka pintu kamar hotel nanti juga pakai kartu. Bukan pakai kunci,” lanjut Ponidi. Dia kemudian menjelaskan cara membuka pintu kamar. “Saat mau meninggalkan kamar, kartu (kunci) jangan sampai ditinggal di dalam kamar, nanti tak bisa membuka pintu,”jelasnya.
TIGA KALI JUARA
Sementara Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Samarinda Marwansyah mengatakan, Samarinda sudah tiga kali memenangkan kontes tanaman pada program Penghijauan dan Konservasi Alam (PKA) Wana Lestari. Pada 2009, pohon sengon milik Marzuki petani Samarinda berhasil menjadi pemenang. Tahun berikutnya, pohon gmelina milik Ponidi yang menjadi pemenang. Dia mengatakan, kontes ini untuk menggalakkan penghijauan dan pembuatan hutan rakyat.
Dia mengatakan, selama ini Kota Samarinda telah melaksanakan kegiatan penghijauan, pembuatan hutan rakyat, pengkayaan hutan rakyat, pembuatan dan pengayaan hutan kota. Sejak 2001 telah terealisasi 4.665 hektare. Sedangkan khusus hutan kota mencapai 690 hektare.
“Sementara kegiatan pemberian bantuan bibit kayu-kayuan dan MPTS (multi purpose tree species, Red.) kepada masyarakat mencapai 82.897 batang. Selain itu perusahaan swasta sejak 2001 telah melakukan penanaman 1.668.284 bibit dalam lokasi usahanya,” bebernya.
Sementara Kepala Bidang Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam Dinas Kehutanan Samarinda Umar Shodiq mengatakan, memang sangat sulit mendapatkan pohon gmelina yang tegak lurus tanpa cabang. Pohon yang seperti ini katanya, sangat diperlukan untuk industri kayu olahan. Dia juga berharap keberhasilan Paimin bisa memotivasi petani lain di Samarinda.
“Kita harapkan juga bisa menggugah kesadaran masyarakat untuk ikut berperan aktif melestarikan hutan dan menjaganya,” ujar Umar. (ran)
Petani Samarinda Dapat Penghargaan Dari Presiden
Rabu, 10 Agustus 2011 17:51:00 WIB | Kategori: Humaniora | Telah dibaca 228 kali
Komhukum (Samarinda)- Petani dari Kota Samarinda akan mendapat penghargaan Wana Lestari dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena berhasil memenangkan lomba Penghijauan dan Konservasi Alam (PKA) tingkat Provinsi Kaltim.
"Petani itu bernama Paimin asal Kelurahan Lempake, Samarinda Utara. Penghargaan ini sudah yang ketiga kalinya diterima Paimin sejak 2009 hingga 2011 ini," ucap Wali Kota Samarinda, Syaharie Jaang saat menerima kunjungan Paimin, Rabu (10/8).
Paimin berhasil menjadi juara pertama tingkat Kalimantan Timur (Kaltim) dalam lomba PKA Wana Lestari 2011 dalam kategori konteks pohon Gmelina.
Atas keberhasilannya itu, rencanannya pria sederhana dan pekerja keras ini berhak mendapatkan penghargaan Wana Lestari yang diserahkan langsung Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Agustus di Jakarta.
Jaang mengaku bangga atas prestasi yang ditorehkan Paimin tersebut, sehingga bisa mengharumkan nama daerah ke tingkat Nasional.
"Saya sangat terharu dan bangga mendengar kabar ini setelah melihat kondisi Pak Paimin dengan usianya sudah 59 tahun. Dengan usia ini, sungguh tidak disangka masih bisa menorehkan pretasi," ucap Jaang.
Prestasi yang diraih Paimin, menurutnya, sejalan dengan tujuan pemkot yang berkeinginan melakukan pembinaan kawasan hutan kemasyarakatan, sekaligus melaksanakan berbagai program penghijauan melalui penanaman bibit-bibit pohon.
Untuk itu dia mengharapkan, keberhasilan itu setidaknya dapat memotivasi petani-petani lain guna mengikuti jejaknya agar bisa berkarya dan berpretasi dalam sektor yang sama.
"Melalui kegiatan ini saya harapkan kesadaran masyarakat bersama pemerintah, yakni untuk terus menjaga hutan yang berjalan secara sinergi, karena pada gilirannya akan membuat hutan lestari," tuturnya.
Keberhasilan petani tersebut sangat mendapatkan apresiasi dari pemerintah, karena memang satu tujuan untuk terus melakukan penghijauan, terutama untuk hutan rakyat.
Sedangkan pembuatan hutan rakyat dari 2001 hingga sekarang telah mencapai 4.655 hektare, sementara untuk hutan kota seluas 690 hektare.
"Kegiatan pemberian bantuan bibit secara stimulan kepada masyarakat juga telah dilakukan dengan mencapai 82.897 batang, selain mengharapkan partisipasi pihak swasta yang telah melakukan penanaman sebanyak 1.000 bibit tanaman," ujar Jaang lagi.(K-5)
KEKA
No comments:
Post a Comment