Tuesday, July 31, 2012

PAGUYUBAN AREMA SAMARINDA: PENGURUS PUSAT

PAGUYUBAN AREMA SAMARINDA: PENGURUS PUSAT

Memahami Makna Silaturrahim (Refleksi Menjelang Idul Fitri 1433 H)


Silaturrahim termasuk kata yang paling populer di negara kita. Penggunaan istilah “silaturahim” sendiri paling sering digunakan pada momentum di bulan Syawal, yaitu saat Idul Fitri. Akan tetapi masih banyak orang justru salah kaprah dalam menyebutkannya menjadi “silaturahmi” yang ternyata makna kalimatnya menjadi berbeda jauh.
Istilah “silaturahim” berasal dari kata dalam bahasa arab “silah” yang artinya “menyambungkan” dan “rahim” yang artinya “kasih sayang dan pengertian”. Sehingga kalimat “silaturahim” maknanya adalah “menyambungkan kasih sayang dan pengertian”. Ini sangat berbeda dengan makna kata “silah” yaitu “menyambungkan” dan “rahmi” yang ternyata artinya adalah “rasa nyeri pada saat seorang ibu hendak melahirkan”. Sehingga kurang tepat dengan maksud penggunaan sebagai ungkapan makna kata ini untuk menggambarkan aktivitas saling berkunjung untuk mempererat tali persaudaraan dan kekerabatan. Namun uniknya, justru istilah “silaturahmi” ini terlanjur lebih populer di tengah masyarakat Indonesia.
Konon kekurangtepatan penggunaan istilah ini terjadi karena masalah perbedaan dialek. Rumpun Bahasa Melayu, termasuk bahasa daerah Sunda dan Jawa yang cukup kuat pengaruhnya di tengah masyarakat, sulit di dalam mengucapkan kata-kata yang berasal dari serapan Bahasa Arab. Sehingga kata “silaturahim” karena dialek, berubahlah menjadi “silaturahmi” dan yang tanpa sengaja ternyata di dalam Bahasa Arab juga ada artinya, namun memiliki perbedaan makna.
Menjalin silaturahim sangat dianjurkan oleh agama. Dalam al-Qur’an surah an-Nisâ’ [4] ayat 1, Allah Swt berfirman yang artinya: “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan [pelihara pula] hubungan silaturrahim.”
Kata al-arhâm dalam ayat tersebut merupakan bentuk jamak dari rahim yang berarti tempat peranakan. Di tempat itu janin berdiam, tumbuh, dan berkembang sebelum akhirnya lahir ke dunia. Dalam rahim itu, bertemu sel telur dan sperma. Masing-masing membawa sifat fisik maupun psikis dari ayah dan ibu, bahkan membawa gen dari kakek, nenek, atau keturunan yang terdahulu.
Dalam rahim, tercipta hubungan yang erat, atau lebih tepatnya melalui pertemuan di dalam rahim, Allah Swt menciptakan hubungan yang erat dan kuat antar manusia. Dengan jalinan rahim, seseorang dapat merasa hubungan yang sangat dekat sehingga atas nama-Nya mereka saling tolong-menolong dan membantu.
Secara bahasa, silaturahmi berasal dari kata shilah dan ar-rahîm. Kata shilah berasal dari washala-yashiluwashl [yashiluwashl[an] wa shilat[an], yang berarti menyambung atau menghimpun. Maknanya, silaturahim menuntut tindakan aktif menyambung atau menghimpun hubungan kekerabatan yang telah terputus. Rasulullah Saw bersabda, “Al Wâshl [menyambung hubungan persaudaraan] bukanlah orang yang membalas budi baik berupa hadiah atau kunjungan sanak saudaranya, melainkan berusaha untuk menyambung atau menghimpun kembali tali persaudaraan yang telah terputus” [HR. Bukhari dan Muslim].
Bersilaturahim bukan sekedar bertegur sapa, melainkan berusaha untuk mempererat dan mendekatkan hubungan persaudaraan, sehingga karena keeratan dan kedekatan itu, bisa menimbulkan sikap saling memahami satu sama lain. Tujuannya, apabila salah satu saudaranya memerlukan bantuan atau pertolongan, saudara yang lain mengetahui dan kemudian memberi apa yang dibutuhkannya.

Ancaman Bagi Pemutus Silaturrahim
Selain menganjurkan untuk bersilaturahim, agama juga mengancam bagi orang yang memutusnya. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis melalui ‘Aisyah ra yang berbunyi, “Rahim tergantung di Singgasana Ilahi [Arsy], di sana ia berkata, ‘Siapa yang menyambungku, Allah akan menyambung rahmat-Nya, dan siapa yang memutuskanku Allah akan memutus rahmat-Nya’.”
Rasulullah Saw memberi peringatan keras bagi umatnya yang enggan untuk menyambung tali silaturahim. Suatu hari ada seseorang yang datang kepada Rasulullah Saw untuk mengadukan apa yang dialaminya. Ia mempunyai hubungan kekerabatan dan berusaha untuk menyambungnya, selalu berbuat santun kepadanya. Namun, saudaranya tak mau menanggapinya dan bersikap acuh. Bahkan saudaranya itu membalas perbuatan baiknya dengan perbuatan yang jahat.
Mendengar keluhan orang itu Rasulullah Saw kemudian bersabda, “Seandainya apa yang kamu ucapkan itu benar, maka dengan penolakan mereka kamu seakan-akan menyuapkan abu panas kepada mereka. Sepanjang mereka bersikap demikian, maka Allah senantiasa berada di belakangmu dan Ia akan memberi pertolongan kepadamu.
Orang yang memutuskan silaturahim berarti menghalangi saudaranya memperhatikannya, baik berupa pemberian hadiah atau kunjungan. Dan sebaliknya, ia juga tak mau memberi perhatian kepada saudaranya. Hubungan yang demikian jauh dari semangat persaudaraan yang dianjurkan agama, yaitu saling tolong-menolong dalam kebaikan dan kesabaran.

Silaturrahim Setiap Saat
Silaturrahim tidak perlu dibatasi hanya pada saat bulan Syawal atau Hari Raya Idul Fitri. Setiap saat kita umat muslim dianjurkan untuk menebar salam, menjalin silaturahim, semoga dengan bersilaturahim, fitnah bisa diredam, salah paham bisa terkoreksi, permusuhan bisa menurun. Juga melalui silaturahim, diharapkan segala penyertaan beban emosi negatif yang bersumber dari konflik negatif yang biasanya diawali dari konflik interpersonal di antara kita dalam hubungan kita sehari-hari dengan siapa pun, dalam lingkup kehidupan sosial kemasyarakatan kita, dapat lenyap, luluh dan sirna dari batin kita, dengan adanya saling meminta maaf dan saling memaafkan ketika bersilaturahim. Wallahu’alam.

1 comment:

  1. WAAAHHHH...baru tahu kalo udah banyak di isi ama Pak Laode..suiiiipp tenan

    ReplyDelete